Jumat, 20 Juni 2014

artikel pendidikan


Persekolahan tanpa Pendidikan

KEKELIRUAN paling mendasar dalam pembangunan pendidikan selama sejarah Indonesia modern adalah mempersempit pendidikan hanya sekadar persekolahan belaka. Anggaran pendidikan yang semakin besar (tahun 2014 mencapai Rp 80 T) dialokasikan untuk memperbesar sistem persekolahan. Pendidikan nonformal, apalagi pendidikan informal dalam keluarga di rumah, dinomorduakan karena tidak terukur, tidak memiliki standar (lihat istilah teknokratik standar pelayanan minimal), dan oleh karena itu dinilai tidak bermutu. Anak yang tidak pernah bersekolah (seperti anak rimba) langsung dianggap tidak terdidik dan kampungan.
 

Perilaku Otentik Siswa dan Guru

PERILAKU otentik siswa dalam belajar dan guru dalam mengajar perlu terus diupayakan. Siswa idealnya bersemangat untuk memahami, bahkan memecahkan, berbagai masalah yang muncul di sekitarnya. Intinya, mereka belajar memahami dan memikirkan lingkungannya agar siap saat memasuki kehidupan, bukan hanya saat menghadapi ujian.
Kalaupun ada ujian, itu hanya sebagian kecil pengalaman belajar yang perlu dilewati. Ujian bukan segala-galanya, hanya bagian kecil dari proses besar yang namanya belajar. Hakikat belajar yang sesungguhnya adalah berpikir dalam arti seluas-luasnya.

Dilema Pendidikan Nasional

Setiap musim ujian nasional alias UN, saya selalu teringat pada Muhammad Abrary Pulungan (14), siswa dari SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Tiga tahun lalu, ia pernah menjadi pusat pergunjingan lantaran melaporkan kecurangan UN di sekolahnya. Naas, bukannya mendapat apresiasi, ia justru dihujani kecaman dari berbagai pihak terkait. Seperti orang Jawa bilang, nulung malah kepentung.
Pada tahun yang sama, kasus serupa dialami oleh Alif (14), siswa dari SD Negeri 02 Gadel, Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Seperti dikabarkan media, ia diminta gurunya memberikan jawaban soal UN kepada temannya yang tidak bisa. Pasca ujian, ia tidak tahan dan melaporkan perintah guru itu kepada orangtuanya.

Surat Terbuka untuk Pak Nuh

SEMOGA Pak Nuh masih ingat perbincangan ringan yang terjadi pada Selasa, 15 Desember 2009, bertempat di Plaza Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat itu Pak Nuh mengundang 10 penulis artikel pendidikan produktif sepanjang 2008-2009. Sebagai salah satu dari 10 orang yang diundang, saya cukup terkesan dan mengapresiasi tradisi yang coba dibangun Mendikbud. Dalam kata sambutan yang singkat dan sederhana, Mendikbud sangat menghargai masukan dan kritik yang disampaikan para penulis tentang kerja-kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

1 komentar: